Minggu, 03 Januari 2016

Positifistik dalaam Pendidikan



 Positifistik dalam Pendidikan
Diajukan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah filsafat ilmu pendidikan
Tahun pelajaran 2015/2016




                                                           Disusun oleh :
                                       Dita Hadaita                                   ( 2227093176 )
Tiara Kusnia Dewi                          ( 2227141051 )
                                       Yulia Pandu Putri                           ( 2227141010 )
                                                                                      

                                                    Kelas                 : 3 – B PGSD


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2015




KATA PENGANTAR

Penyusun memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penyusun dapat  menyelesaikan makalah positifistik dalam pendidikan ini. Laporan ini ditunjukan untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat pendidikan.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun banyak memperoleh bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1.      Bapak Dr.Adang Heriawan,M.Pd, selaku dosen mata kuliah filsafat pendidikan;
2.      Para Orang tua penyusun yang selalu mendukung dan memfasilitasi dalam pembuatan makalah ini;
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, baik materi maupun teknik penulisannya. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan menambah wawasan tentang filsafat pendidikan khususnya mengenai positifistik dalam pendidikan.

                                                                                         Serang,       November  2015

Penyusun
 
 











DAFTAR ISI


Halaman
Kata Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1
1.3 Tujuan......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 2
             2.1 Pengertian Positifistik/Positivisme............................................................ 3
             2.2 Sejarah Aliran Positifistik/Positivisme....................................................... 4
             2.3 Tokoh Dibalik Aliran Positifistik............................................................... 4
 2.4 Positifistik dalam Pendidikan.................................................................... 7
 2.5 Positivistik dalam Pendidikan di Indonesia.............................................. 9
BAB III PENUTUP................................................................................................... 9
             3.1 Kesimpulan................................................................................................ 11
             3.2 Saran.......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 13


 



BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Pendidikan belakangan ini mengalami kondisi yang memprihatinkan, dengan maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan pelajar adalah bukti bahwa pendidikan  telah gagal membentuk akhlak anak didik. Pendidikan selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan atau karakter yang baik. Filsafat pendidikan menjadi azas terbaik untuk mengadakan penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dan institusi-institusi pendidikan.
Positifistik dalam pendidikan akan membantu guru sebagai pendidik untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan siswanya di sekolah dan mengaitkannya dengan faktor-faktor spiritual, social, ekonomi, budaya dan lain-lain, dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insan yang sempurna baik lahir maupun batinnya, hal inilah yang melatarbelakangi penyusun untuk menyusun makalah yang membahas mengenai “Positifistik dalam Pendidikan”.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Positifistik?
2.      Bagaimana sejarah aliran positifistik ini?
3.      Siapa tokoh dibaik aliran positifistik?
4.      Apa yang dimaksud Positifistik  dalam pendidikan?
5.      Bagaimana Positifistik dalam pendidikan di Indoesia?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui makna Positifistik
2.      Untuk mengetahui sejarah aliran positifistik
3.      Untuk mengetahui tokoh dibalik aliran positifistik
4.      Untuk mengetahui Positifistik  dalam pendidikan
5.      Untuk mengetahui Positifistik dalam pendidikan di Indoesia


























BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Pengertian Positifistik/Positivisme
Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti  aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan  ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Ajaran positivisme muncul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif. Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).
Dalam perkembangannya aliran ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
2.2    Sejarah Aliran Positfistik/Positivisme
Revolusi politik besar terjadi pada akhir abad XVIII yaitu  di Perancis tahun 1789. Ada perbedaan situasi intelektual  di Perancis pada abad ke-18 dan abad ke-19. Pada abad ke-18 atau yang lebih dikenal dengan zaman Pencerahan terdapat kecenderungan yang kuat untuk melawan agama, perbedaan yang terjadi pada abad ke-19 para filsuf Perancis mulai menghargai kembali peranan dimensi rohani manusia (Hardiman, F. Budi, 2011).   Aliran yang paling berpengaruh pada abad ini adalah positivisme, dengan tokohnya Auguste Comte(1798-1857). ).Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik . Dalam usia 25 tahun, dia studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog.Claude-Henri de Saint Simon (1760-1825) salah satu filsuf abad ke-19 menerima Auguste Comte sebagai sekretarisnya, dan pemikiran Saint Simon memengaruhi perkembangan intelektual Comte. Pada tahun 1826 Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Karya yang paling terkenal dari Auguste Comte adalah  Course of Positive Philosophy (Cours de philosophie positive). Positivisme diperkenalkan oleh Comte,  istilah positivisme  berasal dari kata “positif”. Positivisme pada dasarnya  adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu – satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman faktual.

2.3  Tokoh Dibalik Aliran Positifistik
       Pendiri sekaligus tokoh terpenting aliran positivisme adalah Auguste Comte (1798-1857). Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier.
       August Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
       Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
       Dalam usia dua puluh lima tahun, Comte studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint-Simon mempengaruhi perkembangan intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Akan tetapi pada tahun 1825, Comte akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri dari Saint-Simon dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul “Sistem Politik Positif” tahun 1825. Sebuah karya lainnya adalah Cours de Philosophia Positive (kursus tentang filsafat positif) dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.

Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 zaman, yaitu:
1.  Pada zaman teologis; manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada makhluk biasa. Pada tahapan ini, dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif  yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah.
2.  Zaman metafisis atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empiris.
3.  Zaman positif, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya adalah bila kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.
       Seperti yang dikemukakan Misnal Munir (2000:87), filsafat positivisme pengalaman dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara terisolasi, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Metode positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakikat atau asal mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala, melainkan hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.
       Auguste Comte mengakhiri pemahamannya dengan pandangan positivistik bahwa semua yang ada harus empiris, realistik, dan ilmiah. Jika keluar dari persyaratan itu, hal tersebut tidak dinamakan dengan eksistensi. Manusia yang meyakini keberadaan yang tidak nyata adalah manusia yang rasionalnya masih dijajah oleh pemahaman mitologis atau metafisik. Sementara pemahaman teologis bersifat spekulatif yang merupakan masa pencarian kebenaran manusia. Manusia pada akhirnya akan mengakui bahwa yang benar adalah yang positif, faktual, dan realistis.
       Pandangan dan penemuan ilmiah manusia mengenai alam jagat raya ini telah mendorong lahirnya filsafat pendidikan berbasis positivisme. Pendidikan diarahkan pada suatu tujuan yang realistic. Pengembangan kurikulum ditekankan pada suatu proses penciptaan anak didik yang rasional dan empiris. Masyarakat harus menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan tidak bergantung pada mitos dan berbagai legenda karena semua itu akan membuat masyarakat bodoh. Kehidupan bergantung pada kebutuhan yang nyata, pasti, dan rasional. Oleh karena itu masyarakat harus melihat pengetahuan dengan memperdalam pendidikan yang empiris dan realistik. Pendidikan harus berbasis pada penelitian dan kebenaran yang pasti dan indrawi.


2.4  Positifistik dalam Pendidikan
Pandangan dan penemuan ilmiah manusia mengenai alam jagat raya ini telah mendorong lahirnya filsafat pendidikan berbasis positifistik/positivisme. Pendidikan diarahkan pada suatu tujuan yang realistik. Pengembangan kurikulum ditekankan pada suatu proses penciptaan anak didik yang rasional dan empiris. Masyarakat harus menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan tidak bergantung pada mitos dan berbagai legenda karena semua itu akan membuat masyarakat bodoh. Kehidupan bergantung pada kebutuhan yang nyata, pasti, dan rasional.
 Oleh karena itu masyarakat harus melihat pengetahuan dengan memperdalam pendidikan yang empiris dan realistik. Pendidikan harus berbasis pada penelitian dan kebenaran yang pasti dan indrawi. Filsafat Positivisme terhadap Pendidikan Indonesia Salah satu cita-cita bangsa Indonesia ialah menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan spriritual melalui bidang pendidikan.
      Hakikat pendidikan tiada lain adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang dianut. Contoh manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan tersebut antara lain: manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil, dst. Sebab itu, pendidikan bersifat normatif dan mesti dapatdipertanggungjawabkan. Mengingat hal di atas, pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang, melainkan harus dilaksanakan secara bijaksana. Maksudnya, pendidikan harus dilaksanakan secara disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta efisien dan efektif cara-cara pelaksanaannya. Implikasinya, dalam pendidikan, menurut Tatang S (1994) mesti terdapatmomen berpikir dan momen bertindak. Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa dalam rangka pendidikan itu (Redja M; 1994), terdapat momen studi pendidikan dan momenpraktek pendidikan. Momen studi pendidikan yaitu saat berpikir atau saat mempelajari pendidikan dengan tujuan untuk memahami/menghasilkan sistem konsep pendidikan.
Pendidikan yang positivistik menekankan pentingnya metode empiris-eksperimental dan menuntut adanya objektivitas dalam setiap kajiannya. Objektivitas adalah sasaran pendidikan yang diajukan guna menekan dominasi subjektivitas peneliti. Ralitas sebagai objek kajian harus bisa dimengerti secara rasional oleh peneliti atau peserta didik. Pendidikan harus mampu menjadi sarana bagi dijalankannya metode ilmiah. Tujuan pendidikan positifistik adalah memperoleh pengetahuan sejati melalui metode ilmiah dan verifikasi.
Aliran ini sangat mendominasi sistem pendidikan yang sedang berjalan dewasa ini. Ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial memakai metode ilmiah dalam memahami realitas. Melalui metode ilmiah, kebenaran dapat tercapai. Namun kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran tentatif yang dapat gugur jika ditemukan kebenaran baru yang lebih tetap. Konsekuensinya, proposisi-proposisi metafisik tidak mendapat tempat. Kajian ilmu yang memfokuskan diri pada problem metafisika dan teologi dipisahkan dalam kelompok ilmu-ilmu filsafat dan humaniora. Metafisika dianggap non-sense dan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Pendidikan positivistik selalu menuntut adanya pengujian secara matematis. Manusia dan alam direduksi sebagai objek kajian yang dapat diukur secara matematis. Jika di hubungkan dengan pendidikan di indonesia saat ini, aliran positivisme sangat mendominasi dan menjadi landasan dalam pelaksanaannya. Kurikulum yang di pakai di indonesia saat ini yaitu kurikulum 2013, dimana pada kurikulum 2013 menekankan pada keaktifan siswa (active learning), dimana siswa dituntut untuk aktif di dalam kegiatan pembelajaran, dan metode yang di gunakan pada pendidikan di indonesia yaitu menggunakan metode konstruktivisme, dimana siswa membangun/mengkonstruksi dan mengembangkan sendiri pengetahuan yang telah didapat agar ilmu yang di dapat lebih mudah di pahami dan dapat di aplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Pada kurikulum 2013 juga menggunakan metode saintific yang menekankan pada 5M (Menanya, Mencoba, Menganalisis, Mengasosiasikan dan Mengkomunikasikan) dimana pendekatan ini menekankan pada kegiatan experimental, siswa dalam mencari, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan menganalisis masalah yang tengah di pecahkan serta mengambil kesimpulan deri fakta dan data yang telah di peroleh. Dapat disimpulkan kegiatan pendidikan di indonesia saat ini menggunakan landasan salah satu filsafat yaitu aliran Positivisme.
Pada aliran positivisme siswa harus memperkaya dan mengembangkan ilmu yang telah didapat dengan menggunakan metode-metode ilmiah sehingga membentuk siswa yang mempunyai pemikiran yang ilmiah, kritis dan analitis serta mampu mengamati fenomena yang terjadi dengan pemikiran yang logis dan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ada hal ini sejalan dengan salah tujuan pendidikan di indonesia yaitu untuk membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab.

2.5    Positifistik dalam Pendidikan di Indonesia
Bila dikaitkan dengan pendidikan maka salah satu tujuan pendidikan bangsa Indonesia yaitu membentuk manusia seutuhnya, dan yang dimaksud dengan manusia yang utuh adalah tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan cerdas spiritual. Manusia yang diharapkan dalam system pendidikan Indonesia ialah yang mampu berolah pikir, berolah raga, dan berolah rasa.
Filsafat Positivisme mengarahkan agar pendidikan ini mengarah kepada hal yang baik, baik dari segi intelektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir kenapa hujan itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kreativ yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar menjadi lebih baik dan berdaya saing.
 Melalui filsafat positivisme, pendidikan diarahkan kepada hal baik dalam segi intelektual dan berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan anak didik yang sempurna baik lahir maupun batinnya. Peserta didik diasah dalam kemampuannya melihat, menemukan fakta-fakta, menganalisis sesuatu, serta mentransfer ilmu kepada lingkungannya. sehingga diharapkan dapat terbentuknya anak bangsa yang kreatif, berkarakter, serta mampu berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar lebih baik dan mampu bersaing dengan negara asing.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing. Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pada dasarnya pendidikan  adalah manifestasi kehidupan. Pendidikan yang baik  adalah pendidikan  yang menjunjung  pemerdekaan  pada tiap anak didiknya. Proses yang dilakukan  dalam pendidikan  bukan berarti harus memandang atau berpandangan anak didik itu sebagai seseorang yang tidak berdaya, karena hal itulah yang akan mengasingkan kita dari keterasingan manusia sendiri. Kuatnya pengaruh filasafat positivisme dalam pendidikan dalam kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat. Metode yang dikembangkan pendidikan mewarisi positivisme seperti obyetivitas, empiris, tidak memihak, rasional dan bebas nilai juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan. 













BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Filsafat positivisme merupakan filsafat dimana menekankan hal-hal yang berfokus kepada data yang empiris, sehingga apabila menyatakan sesuatu atau ilmu pelajaran harus disesuaikan dengan fakta yang sebenar-benarnya terjadi. Dalam kaitannya filsafat positivisme pada pendidikan di Indonesia mengarahkan kepada hal yang baik, baik dari segi intlektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir kenapa hujan itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kreatif yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar menjadi lebih baik dan berdaya saing.
      Filsafat Post Positivisme muncul merupakan filsafat yang hadir sebagai pengkritisi dari apa yang diungkapkan oleh filsafat positivisme, Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.  Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara mendalam.

3.2    Saran

Pengaruh aliran positivisme ini begitu besar dampaknya terhadap suatu pendidikan, sayangnya aspek yang lebih dikedepankan ialah aspek rasionalitas. Menurut penyusun, sebaiknya pendidikan khususnya pendidikan di Indonesia lebih baik melihat kembali aliran sesudahnya yaitu aliran post positivisme yang menganggap bahwa sesuatu yang empirisme atau realistic dan yang gaib keduanya memiliki peran penting. Contohnya yaitu pendidikan tentang agama, bagaimana jadinya bila aliran positifistik yang selalu beranggapan empirisme ini diterapkan di Indonesia, karena pada dasarnya ilmu yang empiris dan realistic itu penting namun ilmu tentang ketuhanan atau sebuah keyakinan tentang sesuatu yang gaib juga penting demi terwujudnya insan atau generasi masa depan yang memiliki kecerdasan intelektual serta kecerdasan spiritual.


























DAFTAR PUSTAKA

Mudyahardjo,Redja.2010.Filsafat Ilmu Pendidikan.Bandung:PT Remaja Rosdakarya
http://www.kompasiana.com









      




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar