Positifistik dalam Pendidikan
Diajukan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah filsafat
ilmu pendidikan
Tahun pelajaran 2015/2016
Dita
Hadaita
( 2227093176 )
Tiara Kusnia Dewi ( 2227141051 )
Yulia
Pandu Putri ( 2227141010 )
Kelas : 3
– B PGSD
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2015
KATA
PENGANTAR
Penyusun
memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya
penyusun dapat menyelesaikan makalah
positifistik dalam pendidikan ini. Laporan ini ditunjukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah filsafat pendidikan.
Dalam
penyusunan makalah ini, penyusun banyak memperoleh bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, Penyusun menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :
1.
Bapak Dr.Adang Heriawan,M.Pd, selaku dosen mata kuliah filsafat pendidikan;
2.
Para Orang tua penyusun yang selalu mendukung dan memfasilitasi dalam
pembuatan makalah ini;
Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, baik materi maupun teknik
penulisannya. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan menambah wawasan tentang filsafat pendidikan khususnya
mengenai positifistik dalam pendidikan.
Serang,
November 2015
|
DAFTAR
ISI
Halaman
Kata
Pengantar...........................................................................................................
i
Daftar
Isi..................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN..........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................
1
1.3 Tujuan.........................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
2
2.1 Pengertian Positifistik/Positivisme............................................................
3
2.2 Sejarah Aliran
Positifistik/Positivisme.......................................................
4
2.3 Tokoh Dibalik Aliran
Positifistik...............................................................
4
2.4 Positifistik dalam Pendidikan....................................................................
7
2.5 Positivistik dalam Pendidikan di Indonesia..............................................
9
BAB
III PENUTUP...................................................................................................
9
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 11
3.2 Saran.......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 13
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan
belakangan ini mengalami kondisi yang memprihatinkan, dengan maraknya tawuran
antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang
cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan
bebas di kalangan pelajar adalah bukti bahwa pendidikan telah gagal
membentuk akhlak anak didik. Pendidikan selama ini memang telah melahirkan
alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan formal yang
diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan
nilai-nilai kebajikan atau karakter yang baik. Filsafat pendidikan menjadi azas terbaik untuk mengadakan
penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi
segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dan institusi-institusi
pendidikan.
Positifistik dalam pendidikan akan
membantu guru sebagai pendidik untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan
kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan siswanya di sekolah dan
mengaitkannya dengan faktor-faktor spiritual, social, ekonomi, budaya dan
lain-lain, dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insan yang
sempurna baik lahir maupun batinnya, hal inilah yang melatarbelakangi penyusun
untuk menyusun makalah yang membahas mengenai “Positifistik dalam Pendidikan”.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud Positifistik?
2.
Bagaimana
sejarah aliran positifistik ini?
3.
Siapa tokoh
dibaik aliran positifistik?
4.
Apa yang
dimaksud Positifistik dalam pendidikan?
5.
Bagaimana
Positifistik dalam pendidikan di Indoesia?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui
makna Positifistik
2.
Untuk mengetahui
sejarah aliran positifistik
3.
Untuk mengetahui
tokoh dibalik aliran positifistik
4.
Untuk mengetahui
Positifistik dalam pendidikan
5.
Untuk mengetahui
Positifistik dalam pendidikan di Indoesia
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Positifistik/Positivisme
Kata
Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan
positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti,
meyankinkan. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang
berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan
berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme
berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu
semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya
dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti
metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan
bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang
nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Ajaran
positivisme muncul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern.
Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya
antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme
hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan
empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang
subjektif. Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August Comte
(1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).
Dalam
perkembangannya aliran ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana
statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan
dinamika adalah urutan gejala-gejala. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat
yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat.
Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
1.
Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2.
Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3.
Metode ini berusaha ke arah kepastian
4.
Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
2.2
Sejarah
Aliran Positfistik/Positivisme
Revolusi
politik besar terjadi pada akhir abad XVIII yaitu di Perancis tahun 1789.
Ada perbedaan situasi intelektual di Perancis pada abad ke-18 dan abad
ke-19. Pada abad ke-18 atau yang lebih dikenal dengan zaman Pencerahan terdapat
kecenderungan yang kuat untuk melawan agama, perbedaan yang terjadi pada abad
ke-19 para filsuf Perancis mulai menghargai kembali peranan dimensi rohani
manusia (Hardiman, F. Budi, 2011). Aliran yang paling berpengaruh
pada abad ini adalah positivisme, dengan tokohnya Auguste Comte(1798-1857).
).Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme
sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf
ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama
Katolik . Dalam usia 25 tahun, dia studi di Ecole Polytecnique di Paris dan
sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum
ideolog.Claude-Henri de Saint Simon (1760-1825) salah satu filsuf abad ke-19
menerima Auguste Comte sebagai sekretarisnya, dan pemikiran Saint Simon
memengaruhi perkembangan intelektual Comte. Pada tahun 1826 Comte sudah
menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar
pendidikan resmi. Karya yang paling terkenal dari Auguste Comte adalah Course
of Positive Philosophy (Cours de philosophie positive). Positivisme
diperkenalkan oleh Comte, istilah positivisme berasal dari kata
“positif”. Positivisme pada dasarnya adalah sebuah filsafat yang meyakini
bahwa satu – satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada
pengalaman faktual.
2.3
Tokoh Dibalik Aliran Positifistik
Pendiri sekaligus tokoh terpenting
aliran positivisme adalah Auguste Comte (1798-1857). Auguste Comte adalah figur
yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak
Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota
Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Auguste
Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan
di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan
pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier.
August Comte adalah tokoh aliran
positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan
bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan
untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat
pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari
revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang
menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami
sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses
perubahan.
Dalam usia dua puluh lima tahun, Comte studi di Ecole Polytecnique di Paris dan
sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog.
Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa
pemikiran Saint-Simon mempengaruhi perkembangan intelektual Comte. Mereka cocok
dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan
ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Akan tetapi
pada tahun 1825, Comte akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri dari
Saint-Simon dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul “Sistem
Politik Positif” tahun 1825. Sebuah karya lainnya adalah Cours de Philosophia
Positive (kursus tentang filsafat positif) dan berjasa dalam mencipta ilmu
sosiologi.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung
dalam 3 zaman, yaitu:
1. Pada zaman
teologis; manusia percaya bahwa dibelakang
gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan
gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki
rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada
pada tingkatan yang lebih tinggi daripada makhluk biasa. Pada tahapan ini,
dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya
menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai
(pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Animisme merupakan
keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada
politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur
kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya
dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan
godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan
yang menetap ditiap sawah.
2. Zaman
metafisis atau nama
lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte
hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu
monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban
yang spekulatif, bukan dari analisa empiris.
3. Zaman positif, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran
manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal
budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas
cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental,
contohnya adalah bila kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati
pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya
perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah
dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang
belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.
Seperti yang dikemukakan Misnal Munir (2000:87), filsafat
positivisme pengalaman dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan
tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan
pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara terisolasi, dalam arti harus
dikaitkan dengan suatu teori. Metode positif Auguste Comte juga menekankan
pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain.
Baginya persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakikat atau asal mula
pertama dan tujuan akhir gejala-gejala, melainkan hubungan antara gejala yang
satu dengan gejala yang lain.
Auguste Comte mengakhiri pemahamannya dengan pandangan positivistik bahwa semua
yang ada harus empiris, realistik, dan ilmiah. Jika keluar dari persyaratan
itu, hal tersebut tidak dinamakan dengan eksistensi. Manusia yang meyakini
keberadaan yang tidak nyata adalah manusia yang rasionalnya masih dijajah oleh
pemahaman mitologis atau metafisik. Sementara pemahaman teologis bersifat
spekulatif yang merupakan masa pencarian kebenaran manusia. Manusia pada
akhirnya akan mengakui bahwa yang benar adalah yang positif, faktual, dan
realistis.
Pandangan dan penemuan ilmiah manusia mengenai alam jagat raya ini telah
mendorong lahirnya filsafat pendidikan berbasis positivisme. Pendidikan
diarahkan pada suatu tujuan yang realistic. Pengembangan kurikulum ditekankan
pada suatu proses penciptaan anak didik yang rasional dan empiris. Masyarakat
harus menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan tidak bergantung pada mitos dan
berbagai legenda karena semua itu akan membuat masyarakat bodoh. Kehidupan
bergantung pada kebutuhan yang nyata, pasti, dan rasional. Oleh karena itu
masyarakat harus melihat pengetahuan dengan memperdalam pendidikan yang empiris
dan realistik. Pendidikan harus berbasis pada penelitian dan kebenaran yang
pasti dan indrawi.
2.4 Positifistik
dalam Pendidikan
Pandangan dan
penemuan ilmiah manusia mengenai alam jagat raya ini telah mendorong lahirnya
filsafat pendidikan berbasis positifistik/positivisme. Pendidikan diarahkan
pada suatu tujuan yang realistik. Pengembangan kurikulum ditekankan pada suatu
proses penciptaan anak didik yang rasional dan empiris. Masyarakat harus
menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan tidak bergantung pada mitos dan berbagai
legenda karena semua itu akan membuat masyarakat bodoh. Kehidupan bergantung
pada kebutuhan yang nyata, pasti, dan rasional.
Oleh karena itu masyarakat harus melihat
pengetahuan dengan memperdalam pendidikan yang empiris dan realistik. Pendidikan
harus berbasis pada penelitian dan kebenaran yang pasti dan indrawi. Filsafat
Positivisme terhadap Pendidikan Indonesia Salah satu cita-cita bangsa Indonesia
ialah menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas dari
segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan spriritual melalui
bidang pendidikan.
Hakikat pendidikan tiada lain adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang dianut. Contoh manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan tersebut antara lain: manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil, dst. Sebab itu, pendidikan bersifat normatif dan mesti dapatdipertanggungjawabkan. Mengingat hal di atas, pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang, melainkan harus dilaksanakan secara bijaksana. Maksudnya, pendidikan harus dilaksanakan secara disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta efisien dan efektif cara-cara pelaksanaannya. Implikasinya, dalam pendidikan, menurut Tatang S (1994) mesti terdapatmomen berpikir dan momen bertindak. Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa dalam rangka pendidikan itu (Redja M; 1994), terdapat momen studi pendidikan dan momenpraktek pendidikan. Momen studi pendidikan yaitu saat berpikir atau saat mempelajari pendidikan dengan tujuan untuk memahami/menghasilkan sistem konsep pendidikan.
Hakikat pendidikan tiada lain adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang dianut. Contoh manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan tersebut antara lain: manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil, dst. Sebab itu, pendidikan bersifat normatif dan mesti dapatdipertanggungjawabkan. Mengingat hal di atas, pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang, melainkan harus dilaksanakan secara bijaksana. Maksudnya, pendidikan harus dilaksanakan secara disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta efisien dan efektif cara-cara pelaksanaannya. Implikasinya, dalam pendidikan, menurut Tatang S (1994) mesti terdapatmomen berpikir dan momen bertindak. Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa dalam rangka pendidikan itu (Redja M; 1994), terdapat momen studi pendidikan dan momenpraktek pendidikan. Momen studi pendidikan yaitu saat berpikir atau saat mempelajari pendidikan dengan tujuan untuk memahami/menghasilkan sistem konsep pendidikan.
Pendidikan
yang positivistik menekankan pentingnya metode empiris-eksperimental dan
menuntut adanya objektivitas dalam setiap kajiannya. Objektivitas adalah
sasaran pendidikan yang diajukan guna menekan dominasi subjektivitas peneliti.
Ralitas sebagai objek kajian harus bisa dimengerti secara rasional oleh
peneliti atau peserta didik. Pendidikan harus mampu menjadi sarana bagi
dijalankannya metode ilmiah. Tujuan pendidikan positifistik adalah memperoleh
pengetahuan sejati melalui metode ilmiah dan verifikasi.
Aliran ini
sangat mendominasi sistem pendidikan yang sedang berjalan dewasa ini. Ilmu
pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial memakai metode ilmiah dalam
memahami realitas. Melalui metode ilmiah, kebenaran dapat tercapai. Namun
kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran tentatif yang dapat gugur jika
ditemukan kebenaran baru yang lebih tetap. Konsekuensinya, proposisi-proposisi
metafisik tidak mendapat tempat. Kajian ilmu yang memfokuskan diri pada problem
metafisika dan teologi dipisahkan dalam kelompok ilmu-ilmu filsafat dan humaniora.
Metafisika dianggap non-sense dan tidak dapat dibuktikan
secara empiris. Pendidikan positivistik selalu menuntut adanya pengujian secara
matematis. Manusia dan alam direduksi sebagai objek kajian yang dapat diukur
secara matematis. Jika di hubungkan dengan pendidikan di indonesia saat ini,
aliran positivisme sangat mendominasi dan menjadi landasan dalam
pelaksanaannya. Kurikulum yang di pakai di indonesia saat ini yaitu kurikulum
2013, dimana pada kurikulum 2013 menekankan pada keaktifan siswa (active learning), dimana
siswa dituntut untuk aktif di dalam kegiatan pembelajaran, dan metode yang di
gunakan pada pendidikan di indonesia yaitu menggunakan metode konstruktivisme,
dimana siswa membangun/mengkonstruksi dan mengembangkan sendiri pengetahuan
yang telah didapat agar ilmu yang di dapat lebih mudah di pahami dan dapat di
aplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Pada kurikulum 2013 juga menggunakan
metode saintific yang menekankan pada 5M (Menanya, Mencoba, Menganalisis,
Mengasosiasikan dan Mengkomunikasikan) dimana pendekatan ini menekankan pada
kegiatan experimental, siswa dalam mencari, mengumpulkan data, menguji
hipotesis dan menganalisis masalah yang tengah di pecahkan serta mengambil
kesimpulan deri fakta dan data yang telah di peroleh. Dapat disimpulkan
kegiatan pendidikan di indonesia saat ini menggunakan landasan salah satu
filsafat yaitu aliran Positivisme.
Pada
aliran positivisme siswa harus memperkaya dan mengembangkan ilmu yang telah
didapat dengan menggunakan metode-metode ilmiah sehingga membentuk siswa yang
mempunyai pemikiran yang ilmiah, kritis dan analitis serta mampu mengamati
fenomena yang terjadi dengan pemikiran yang logis dan sesuai dengan ilmu
pengetahuan yang ada hal ini sejalan dengan salah tujuan pendidikan di
indonesia yaitu untuk membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, berilmu,
cakap, mandiri, dan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab.
2.5
Positifistik dalam
Pendidikan di Indonesia
Bila
dikaitkan dengan pendidikan maka salah satu tujuan pendidikan bangsa Indonesia
yaitu membentuk manusia seutuhnya, dan yang dimaksud dengan manusia yang utuh
adalah tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara
emosi dan cerdas spiritual. Manusia yang diharapkan dalam system pendidikan
Indonesia ialah yang mampu berolah pikir, berolah raga, dan berolah rasa.
Filsafat Positivisme mengarahkan
agar pendidikan ini mengarah kepada hal yang baik, baik dari segi intelektual
dan memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi
pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir
kenapa hujan itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi,
sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kreativ yang dapat berkontribusi
dalam pembangunan bangsa agar menjadi lebih baik dan berdaya saing.
Melalui filsafat positivisme, pendidikan
diarahkan kepada hal baik dalam segi intelektual dan berbagai bidang kehidupan
untuk menciptakan anak didik yang sempurna baik lahir maupun batinnya. Peserta
didik diasah dalam kemampuannya melihat, menemukan fakta-fakta, menganalisis
sesuatu, serta mentransfer ilmu kepada lingkungannya. sehingga diharapkan dapat
terbentuknya anak bangsa yang kreatif, berkarakter, serta mampu berkontribusi
dalam pembangunan bangsa agar lebih baik dan mampu bersaing dengan negara
asing.
Dunia pendidikan
sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan
sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi,
daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem
pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan
keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan
menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing. Hal
yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia
menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup
dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah
kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar
terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta
kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan
budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pada dasarnya pendidikan
adalah manifestasi kehidupan. Pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang menjunjung pemerdekaan pada tiap anak
didiknya. Proses yang dilakukan dalam pendidikan bukan berarti
harus memandang atau berpandangan anak didik itu sebagai seseorang yang tidak
berdaya, karena hal itulah yang akan mengasingkan kita dari keterasingan
manusia sendiri. Kuatnya pengaruh filasafat positivisme dalam pendidikan dalam
kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat. Metode yang
dikembangkan pendidikan mewarisi positivisme seperti obyetivitas, empiris,
tidak memihak, rasional dan bebas nilai juga mempengaruhi pemikiran tentang
pendidikan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Filsafat positivisme merupakan
filsafat dimana menekankan hal-hal yang berfokus kepada data yang empiris,
sehingga apabila menyatakan sesuatu atau ilmu pelajaran harus disesuaikan
dengan fakta yang sebenar-benarnya terjadi. Dalam kaitannya filsafat
positivisme pada pendidikan di Indonesia mengarahkan kepada hal yang baik, baik
dari segi intlektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika
dalam sebuah materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut
siswa untuk berpikir kenapa hujan itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa
hujan itu terjadi, sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kreatif yang
dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar menjadi lebih baik dan
berdaya saing.
Filsafat Post
Positivisme muncul merupakan filsafat yang hadir sebagai pengkritisi dari apa
yang diungkapkan oleh filsafat positivisme, Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara. Oleh karena itu
dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara mendalam.
3.2
Saran
Pengaruh aliran positivisme ini
begitu besar dampaknya terhadap suatu pendidikan, sayangnya aspek yang lebih
dikedepankan ialah aspek rasionalitas. Menurut penyusun, sebaiknya pendidikan
khususnya pendidikan di Indonesia lebih baik melihat kembali aliran sesudahnya
yaitu aliran post positivisme yang menganggap bahwa sesuatu yang empirisme atau
realistic dan yang gaib keduanya memiliki peran penting. Contohnya yaitu
pendidikan tentang agama, bagaimana jadinya bila aliran positifistik yang
selalu beranggapan empirisme ini diterapkan di Indonesia, karena pada dasarnya
ilmu yang empiris dan realistic itu penting namun ilmu tentang ketuhanan atau
sebuah keyakinan tentang sesuatu yang gaib juga penting demi terwujudnya insan
atau generasi masa depan yang memiliki kecerdasan intelektual serta kecerdasan
spiritual.
DAFTAR
PUSTAKA
Mudyahardjo,Redja.2010.Filsafat Ilmu Pendidikan.Bandung:PT Remaja
Rosdakarya
http://www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar