MAKALAH
PARADIGMA TAUHID
Diajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama
DISUSUN OLEH:
Kelompok 1
DITA HADAITA 2227093176
RATU LARAS FARACHDZIBA SYAM 2227150053
HANI VIVIANI 2227150061
SITI MARIYAM 2227150066
I B - PGSD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG – BANTEN
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik
dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tak
lupa pula Sholawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW. Yang telah membawa kedamaian dan rahmat bagi semesta alam.
Makalah ini dibuat dalam rangka
memenuhi Tugas harian mata kulaih Pendidikan Agama Islam, dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana, semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam profesi keguruan.
Terima kasih kepada Ibu Dra.
Istinganatul Ngulwiyah, M.Pd selaku pembimbing kami dalam menyelesaikan makalah
ini, jika tidak ada beliau tidak mungkin kami dapat menyusun makalah ini
sedemikian rupa tanpa adanya ilmu dan bimbingan yang telah beliau sampaikan
kepada kami.
Harapan kami
semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini
kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan- masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Serang, September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................................. i
DAFTAR
ISI......................................................................................................................... ii
BAB I
Pendahuluan...................................................................................................................... iii
BAB ll
Paradigma Tauhid.............................................................................................................. 1
Ø Logika
Tauhid......................................................................................................... 1
Ø Tuhan
Yang Maha Esa........................................................................................... 2
Ø Visi
Kemakmuran Tauhid Rububiyah..................................................................... 3
Ø Misi
Pembebasan Tauhid Uluhiyah....................................................................... 7
Ø Peradaban
Tauhid Mulkiyah.................................................................................. 8
Ø Spiritualitas
Masyarakat Beradab.......................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan agama terdiri atas dua
kata, yaitu “pendidikan “ dan “agama”. Kata pendidikan secara etimologi berasal
dari kata didik yang berarti proses mendewasakan manusia melalui pendidikan dan
latihan. Istilah pendidikan ini semula berasal dari kata atau bahasa yunani,
yaitu paedagogie yang berarti pengembangan.
Disini akan membahas pendidikan agama
islam di kalangan peserta didik. Pendidikan Agama Islam di sekolah umum pada
saat ini begitu kurang, oleh karena itu pendidikan agama islam ini perlu
ditingkatkan untuk bisa menciptakan insan muda yang memiliki akhlak dan budi
pekerti serta berperilaku baik. Jadi bisa kita simpulkan bahwa pendidikan
adalah usaha secara sadar yang dilakukan seseorang dengan sengaja untuk
menyiapkan peserta didik menuju kedewasaan, berkecakapan tinggi.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka
rumusan masalah yang dapat disimpulkan:
1. Pengertian
pendidikan agama islam
2. Penerapan
agama mengenai Paradigma Tauhid
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
selain untuk menambah pengetahuan bagi pembaca, diharapkan pula pembaca
mengetahui perkembangan agama di Indonesia.
BAB ll
PARADIGMA TAUHID
@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
Katakanlah: “Dia-lah
Allah Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang
pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1-4)
Inti ajaran agama
Islam adalah tauhid: mengesakan Allah dengan menegaskan sifat wahdaniyah: tiada sekutu bagi-Nya, dan tiada
sekutu yang semisal dengan-Nya. Dan ajaran tauhid tersebut bermuara pada
sikap pasrah dalam ketundukkan yang tulus hanya kepada Allah sesuai ajaran dan
teladan Rasulullah. Tauhid mengajarkan kita tentang kesatuan akidah dengan
ikrar yang sama: Aku rela Allah Tuhanku, Islam agamaku, Muhammad Nabiku,
Al-Qur’an pedomanku, dan Ka’bah kiblatku. Apa pun jenis kelaminnya, warna
kulit, bahasa, etnis, dan suku bangsanya, semuanya sama dihadapan Allah. Tinggi
dan rendahnya derajat seseorang diukur dengan takwanya kepada Allah.
LOGIKA TAUHID
Alkisah, nabi Adam tinggal di
surga bersama istrinya, Hawa. Namun, karena tergoda bisikan setan, maka Nabi
Adam beserta istrinya “terusir” dari surga dan menjalani kehidupan di dunia.
tugas manusia di dunia adalah menyadari kedudukannya sebagai khalifah Allah,
memimpin umat sesuai syariat Allah, dan mengelola sumberdaya alam untuk
kesejahteraan semua.
Dalam kedudukannya yang
sedemikian terhormat, manusia harus “melihat ke atas” hanya kepada Allah.
Menyembah hanya kepada Allah, taat dan patuh kepada syariat Allah yang
tertulis- Al-Kitab. Kemudian kepada sesamanya harus melihat dalam garis
mendatar yang setara, tidak boleh sombong atau rendah diri, tidak bolehmenindas
atau bersedia ditindas. Tidak boleh mempertuhankan diri sendiri atau orang
lain. Dan kepada alam semesta, manusia harus melihat ke bawah. Manusia tidak
seharusnya menafsirkan gejala alam secara magis- mitologis yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam lembah kemusyrikan.
Inilah logika syirik sebagai
dosa terbesar dalam ajaran Islam. Dosa yang tak terampuni. Syirik adalah
tindakan manusia mengingkari ketinggian harkat dan martabatnya sebagai khalifah
Allah di bumi. Oleh karena itu, kemusyrikan dengan sendirinya adalah kekafiran
yang nyata. Orang kafir dihantui oleh rasa takut, takut terhadap dirinya
sendiri, terhadap lelembut, dedemit, roh jahat, dan lain-lain yang tidak
berdasar. Mereka takut terhadap kutukan roh leluhur. Mereka selalu resah dan
gelisah karena tidak bertakwa kepada Allah.
Orang-orang kafir dengan
kepercayaan yang sesat melakukan tindakan yang melanggar asas kemanusiaan.
Misalnya, orang Musyrik Quraisy yang mengorbankan (membunuh) anak perempuan
sebagai tumbal untuk Tuhan! Praktik ibadah yang tidak logis! Mereka serahkan
anak perempuan untuk Tuhan dan anak laki-laki untuk dirinya! Kaum kafir
dikalangan Ahl kitab memanipulasi ajaran Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa
dan Nabi ‘Isa. Mereka merusak tauhid dengan mengarang cerita soal anak Tuhan dan
trinitas. Mereka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, seperti dalam
paham salibat dan vegetarianisme. Dalam hal ini Allah pun bertanya kepada
orang-orang kafir, apakah kamu mempunyai bukti yang nyata? (QS. Ash-Shoffat
[37]:156). Kepercayaan dan ritual ibadah orang-orang kafir, baik Ahli kitab
maupun Kaum Musyrik tidak berdasar bukti dalam arti hujjah kitabiyah- Taurat
dan Injil yang telah diterima Ahli Kitab- maupun hujjah logika bagi kaum yang
tidak memperoleh kitab.
Peran kekhalifahan
manusia mengelola bumi demi kemakmuran umat manusia hanya bisa dilakukan oleh
orang yang beriman. Iman yang benar dapat mengantarkan manusia pada paradigma
pembangunan yang benar, yakni mengelola sumberdaya alam sesuai hukum
keseimbangan yang tetapkan Allah Ta’ala, tidak mengeramatkan alam, tetapi juga
tidak merusaknya. Sebaliknya, orang musyrik yang mengeramatkan alam telah gagal
memahami hukum-hukum Allah yang berlaku pada alam sebagaimana terlihat pada
gejala alam tersebut. Pikiran mereka terbelenggu oleh tradisi leluhur, sehingga
mereka tidak mampu berpikir kritis, logis, dan koheran. Dalam posisi ini,
harkat dan martabat manusia melorot lebih rendah dari binatang.
TUHAN YANG MAHA ESA
Menurut Ibn
Taimiyah Ilah (Tuhan) adalah yang dipuja penuh kecintaan hati, tunduk
kepadanya, merendahkan diri dihadapan-nya, takut dan mengharapkannya, kepadanya
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakkal
kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan diri padanya, dan
menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta padanya.
Berdasarkan
definisi diatas, dapat dipahami bahwa “ tuhan” itu bisa berbentuk apa saja yang
dipentingkan oleh manusia, seperti tahta, harta, dan popularitas. Manusia
disadari atau tidak dapat terjerumus “mempertuhankan diri” dalam bentuk sifat
ria, egoisme, takut dan bimbang, zhalim, hasad atau dengki. Hal inilah yang
terjadi pada Fir’aun, Qorun, dan Haman yang dikisahkan dalam Al-Qur’an.
Dan (juga) Karun,
Fir’aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan
(membawa bukti-bukti ) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka
berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput
(dari kehancuran itu). (QS. Al-‘Ankabut [29]:39)
Misi utama para
Nabi dan Rasul adalah mengajarkan tauhid, sebagaimana firman Allah SWT:
|Nqäó»©Ü9$# (#qç7Ï^tGô_$#ur !$# #rßç6ôã$# cr& wqߧ p¨Bé& @à2 Îû $uZ÷Wyèt/ s)s9ur
Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. “ (QS. An –Nahl
[16]:36)
Para ulama membedakan konsep
tauhid dalam tiga cabang, yakni: tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid mulkiyah. Dalam perspektif itu
menurut Anwa Harjono, Al-Qur’an pun memberikan petunjuk adanya tiga macam
hukum, yakni:
1.
Hukum yang
mengatur alam semesta seluruhnya yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan,
yang menjadi inti tauhid rububiyah
2.
Hukum yang
mengatur masyarakat manusia untuk menyembah hanya kepada Allah, serta taat dan
patut kepada syariat-Nya, dengan atau tanpa persetujuan manusia. Inilah yang
menjadi inti tauhid uluhiyah.
3.
Hukum yang
dibuat manusia dan berlaku untuk (mengatur) masyarakat manusia sendiri
berdasarkan musyawarah sesuai maqoshid syariah. Inilah yang menjadi inti tauhid
mulkiyah.
VISI KEMAKMURAN TAUHID
RUBUBIYAH
Tauhid rububiyah berintikan pada penegasan atas keesaan Allah dalam af’al-Nya, dalam penciptaan dan pemeliharaan semesta. Allah
menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Allah mencipta manusia dan segala
makhluk, serta menjamin rezeki-nya. Dalam mencipta, Allah tidak mempunyai
sekutu dan tidak ada penentang terhadap kekuasaan-Nya. Iman seperti ini berlaku
pula bagi orang kafir, seperti orang Badui yang tidak memeluk Islam.
Tauhid rububiyah
merupakan sebuah pandangan umum tentang realitas, kebenaran, ruang, waktu,
dunia dam sejarah. Tauhid rububiyah menjadi
landaan kosmologi Islam dan menciptakan prinsip-prinsip berikut.
Pertama, Dualitas. Realitas meliputi dua kategori umum yaitu Tuhan (Pencipta) dan bukan-
tuhan (ciptaan). Realitas pertama mempunyai satu anggota yaitu Allah yang
bersifat mutlak dan Maha Kuasa. Sedangkan realitas kedua berupa tatanan ruang
dan waktu, pengalaman dan proses penciptaan, dan semesta, yang sepenuhnya
tunduk pada ketentuan Tuhan.
Kedua, Ideasionalitas. Hubungan antara dua struktur realitas pada dasarnya bersifat
ideasional. Dasar pikirnya bahwa manusia memiliki kemampuan berpikir; potensi
untuk memahami kehendak Tuhanbaik secara langsung melalui pemahaman terhadap
kehendak yang tersurat dalam firman-Nya maupun secara tidak langsung lewat
pengamatan terhadap ciptaan-Nya.
Ketiga, Teleologis. Hakikat kosmos bersifat teleologis, yakni bertujuan, terencana, atau
didasarkan pada maksud-maksud tertentu Sang Pencipta.
Tauhid rububiyah
mengantarkan manusia pada visi kemakmuran berupa keyakinan bahwa Allah Yang
Maha Pemurah menciptakan bumi yang bisa menopang segala kebutuhan ciptaan-Nya.
Allah juga telah memilih manusia sebagai mandataris Tuhan (kalifatullah) di
bumi untuk mengisi dan memakmurkan bumi. Tauhid rububiyah membantah asumsi
hukum kelangkaan yang disuarakan pada ekonomi sekuler dengan tiga alasan
penting.
Pertama, secara teologis, Tuhan
telah menjamin rizki makhluk-Nya. Persediaan sumber daya alam tak terbatas
dalam jangka panjang. Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melayani dan
meningkatkan kualitas hidup manusia disediakan oleh Tuhan secara melimpah,
tidak ada kekurangan, kecuali jika Tuhan hendak menguji manusia. Kelangkaan dan
malapetaka terjadi, bukan karena ketidakmampuan bumi, melainkan disebabkan
perilaku serakah, misalokasi, salahkelola dan pemanfaatan sumberdaya secara
berlebihan dengan tidak mengindahkan hukum keseimbangan. Akibat keserakahan dan
salahkelola itu adalah polusi air dan udara, erosi tanah, menurunnya hasil
ikan, terancamnya satwa langka, serta kemungkinan rusaknya atmosfer bumi.
Kedua, kenyataan alamiah, bahwa
tanaman dan hewan jauh lebih subur daripada manusia. Perempuan butuh waktu
sembilan bulan untuk melahirkan, dan jarang sekali melahirkan kembar dua atau
tiga. Sementara itu, banyak hewan- terutama sapi, kerbau, kambing, ayam, bebek,
ikan, dan hewan lainnya yang dikonsumsi manusia- jauh lebih produktif. Tanaman
seperti padi, jagung, sagu, gandum dan bahan pangan pertanian lainnya bahkan
lebih cepat pertambahannya ketimbang hewan.
Mengenai sumber
daya alam yang tidak bisa diperbaharui, seperti batu bara, jika sudah terpakai
banyak, maka harga yang tinggi akan mendorong manusia- dengan kecerdasannya-
untuk melakukan pencarian tambang baru dan penggunaan pengganti, seperti minyak
mentah, gas dan energi alternatif lain. Manusia cerdas tidak hanya melihat pada
persediaan yang tampak oleh mata, tetapi selalu sabar dan tekun menciptakan
temuan baru, berusaha mempelajari dan menggali lebih dalam tentang cadangan
sumber daya alam yang tersembunyi, serta mengenal lebih baik teknik pemotongan
biaya. Dengan demikian, umat manusia tidak akan kekurangan makan, air, pohon,
daging, minyak, gas, atau sumber daya alam lainnya sebab disepanjang sejarah
manusia kuantitas komoditas yang bisa dipakai terus menerus akan bertambah.
Ketiga, populasi (angkatan
kerja) merupakan unsur penting bagi kemajuan ekonomi. Manusia merupakan modal
dasar pembangunan, bukan sekedar mulut yang
harus diberi makan dan menjadi beban negara (masyarakat), tetapi juga makhluk
produktif yang memiliki pikiran dan kemampuan bersama menyelesaikan masalah,
menggunakan, dan menemukan tekhnologi baru. Populasi yang besar akan
meningkatkan stok pengetahuan dan pekerja yang terlatih. Kecerdasan dan
ketekunan manusia melalui ide dan penemuan tekhnologi baru dapat meningkatkan
nilai guna sumber daya dan mengurangi harga komoditas dasar, bahkan sekalipun
permintaannya meningkat. Misalnya, teknik pertanian yang berkembang dapat
meningkatkan kapasitas produksi beras, gandum, dan seterusnya. Jadi, asal
dikelola dengan baik, bumi Allah mampu menyediakan sumberdaya yang bisa
memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah.
Di sisi lain,
tauhid rububiyah juga mengarahkan umat beriman kepada takdir Allah yang berlaku
pada alam semesta dan pada alam manusia. Ketetapan Allah telah berlaku kepada
setiap manusia. Misalnya, manusia lahir di alam ini dengan tidak diberi hak
pilih siapa ayah atau ibunya, dimana tempat kelahirannya, dan seterusnya.
Kemudian semua kisah kehidupan pun berakhir. Akhir kehidupan manusia berupa
kematian, dan akhir kehidupan semesta berupa kiamat dan kebangkitan kembali di
Akhirat untuk pertanggungjawaban.
Fenomena kematian
itu mengantarkan manusia pada keyakinan tentang adanya keghaiban. Manusia
dengan pancainderanya menyaksikan fakta bahwa hewan dan manusia semula
bergerak, setelah kematian semua anggota tubuh, mata, dan telinganya berhenti
berfungsi. Mengapa? Kematian itu adalah peristiwa terlepasnya sesuatu dari
raga. Sesuatu itu adalah “nyawa” dalam jasad hewan atau ruh pada manusia.
Hari akhir
digambarkan sebagai saat yang menunjukkan rusak total seluruh alam ini, di mana
langit dan bumi diganti, kemudian manusia dibangkitkan dari kuburnya dan
terjadi alam mahsyar, serta pelaksanaan pengadilan terbuka untuk memperoleh
balasan. Balasan itu berupa kehidupan abadi di sorga (bagi yang berbuat baik)
dan neraka (bagi yang jahat). Ruh manusia menerima segala akibat atas pilihan
dan perbuatannya semasa hidup di dunia fana. Manusia dibangkitkan kembali, dan
dihisab dalam neraca akhirat.
Dasar dari
kebangkitan ini adalah keadilan. Keadilan, kaitannya dengan hukuman dan balasan
baik. Keadilan Allah tidak akan merugikan sedikitpun kepada hamba-nya dan juga
tidak menganiayanya. Karena Allah mencatat semua perbuatan hambanya, baik yang
beriman maupun yang kafir. Allah juga adil memberikan pahala atau siksa kepada
hamba-nya. Allah berfirman:
Kami
akan memasang timbangan yang adil pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun. Dan jika pahala itu hanya seberat biji sawipun
pasti akan mendapatkan pahalanya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat
perhitungannya. (QS. Al- Anbiya/ 21:47).
Pada hari ini seseorang tidak akan dizalimi sedikitpun
dan kami tidak akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang dikerjakan.
(QS. Yasin/ 36:54)
Dalam kaitan ini,
Prof. Hamka menyatakan bahwa keadilan Allah mengandung sifat Rahman dan Rahim,
termasuk melipatgandakan balasan kebaikan dengan sepuluh ganda kebaikan;
sedangkan jika manusia berbuat jahat akan dibalas dengan nilai satu bagi
balasan kejahatan. Dalam kaitan ini umat Islam selalu mengingat tiga ayat
terakhir dalam surat Al-Baqarah yang artinya:
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau
kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendakinya dan
menyiksa siapa yang dikehendakinya; dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Rosul telah beriman kepada al-qur’an yang diturunkan kepadanya dari tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya, dan rasul-rasulnya (mereka mengatakan):
“Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari
rasul-rasulnya”, dan mereka mengatakan: “kami dengar dan kami taat”. (mereka
berdoa):” Ampunilah kami ya tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): “ya Tuhan kami, Janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau jika kami bersalah. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami;
ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah
kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]:284-286).
MISI PEMBEBASAN TAUHID ULUHIYAH
Tauhid
uluhiyah berintikan pada penegasan atas keesaan Allah
dalam Dzat-Nya, terutama dalam aktivitas ibadah, doa, nadzar, korban, berharap
(raja’), takut (khauf), dan tawakkal.
Tauhid uluhiyah merupakan landaan horison teologi Islam yang monotheistik.
Dalam hal ini, umat Islam senantiasa berusaha menghindarkan diri dari segala
bentuk penghambatan kepada selain Allah dengan berikrar sebagaimana dalam
shalatnya:
x$Î) ßç7÷ètR y$Î)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ
Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan. (QS. Al-Fatihah [1]:5)
Wahdaniyah dalam ibadah ini menuntut dua
hal: Pertama: Tidak menyembah dan
meminta pertolongan selain kepada Allah, dan tidak mengakui ketuhanan selain
Allah. Kedua: Menyembah Allah
berdaarkan apa yang telah disyariatkan-Nya melalui teladan Rasulullah Saw.
Dalam
kaitan inilah manusia membutuhkan kasih Allah untuk mengutus seorang Nabi, dan
kita harus beriman kepadanya. Iman kepada Rasul berarti membenarkan dan taat
kepada syariat Allah yang dibawa olehnya. Nabi/rasul terdiri dari manusia jenis
pria, ma’shum (tidak pernah berbuat
dosa), dengan misi menyampaikan ajaran tauhid, dengan menggunakan bahasa
kaumnya, dan wajib dipatuhi oleh umatnya. Kita pantas mempercayai dan patuh
kepada para nabi dan rasul, karena dalam diri mereka memiliki sifat wajib: shiddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan
ajaran), dan fathanah (cerdas).
Horison
tauhid uluhiyah membebaskan masyarakat manusia dari kultus individu terhadap
Nabi, Rahib, dan lain-lain. Lebih lanjut, tauhid uluhiyah menjadi landasan
perlawanan terhadap segala bentuk perbudakan manusia (mustakbirin) terhadap
manusia lainnya (mustadh’afin), wong elit
terhadap wong alit, dan
penjajahan satu bangsa kepada bangsa lainnya. Semua orang sama kedudukannya
dihadapan Allah, sama di depan hukum, wajib berhukum dengan hukum Allah, dan
taat dengan kontrak sosial yang disusun dan disepakati bersama.
Dari
segi spiritual, tauhid uluhiyah membebaskan manusia dari tipudaya setan yang
menggoda kearah syirik. Kita maklum bahwa kita wajib percaya tentang adanya
makhluk spiritual, seperti Malaikat, Jin,
Iblis dan Syaitan.
Kita
wajib iman kepada adanya malaikat. Malaikat adalah makhluk spiritual yang
diciptakan dari nur (cahaya),
dimuliakan (QS. 21:26-28), selalu patuh kepada Allah (QS.16:50), tidak pernah ma’shiyat (QS. 66:6), dan senantiasa
bertasbih kepada Allah (QS. 7:206;37:164-166). Sedangkan Jin merupakan makhluk
halus, dibuat dari api yang panas (QS. 15:27; 55:15). Seperti halnya manusia,
Jin dikenai taklif (QS. 51:56;
6:130), ada yang beriman dan ada pula yang kafir (QS. 72:11; 14, 15), serta
sebagaimana juga manusia Jin tidak mengetahui yang gaib (QS. 72:27,28; 34:14).
Iblis
adalah makhluk halus dari golongan jin (QS.18:50) yang kafir (QS. 2:34), anak
keturunannya disebut setan (QS. 18:50). Iblis hidup sampai kiamat (QS.
38:80-81). Setan bekerja menggoda dan menyesatkan manusia (QS. 16:63, 8:46, 19:83, 59:16), orang yang
melanggar ketentuan Allah berarti memperkuat kedudukan setan dalam diri (QS.
43:36-39).
Pada
umumnya manusia tergoda dalam lembah syirik,
karena menyangka bahwa Jin, Iblis, atau setan dapat “mencuri” dan berbagi
informasi mengenai “misteri” peristiwa ghaib. Misal masalah jodoh, usaha
manusia dimasa depan, kematian, kiamat, dan lain-lain. Iblis dan setan sebagai
musuh utama manusia senang melihat keterperdayaan ini. Dan secara langsung atau
tidak, manusia yang berperilaku syirik dan bertindak maksiat ini telah
mempromosikan kejahatan dan menyokong kekuatan setan, bahkan telah berteman
dengannya. Na’udzu billah. Tauhid
uluhiyah dapat membentengi manusia dari perilaku syirik ini.
PERADABAN TAUHID MULKIYAH
Tauhid mulkiyah berintikan pada ke-Esaan
Allah dalam kekuasaan dan hukumnya. Seorang yang beriman bertekad untuk
senantiasa menyelaraskan segala gerak langkah dan keinginannya sesuai dengan
kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam kitab suci, al-Qur’an. Ia juga
berjanji untuk berhukum dengan hukum Allah, sebagaimana termaktub dalam
al-Qur’an. Lebih lanjut dari kesadaran ini adalah usaha sungguh-sungguh untuk
menegakkan syari’at Allah di muka bumi dalam rangka mewujudkan keadilan sosial dan
kemakmuran universal.
Kewajiban
berhukum sesuai hukum Allah merupakan wujud konkret dari iman kepada kitab
Allah. Iman kepada kitab Allah berarti percaya bahwa kitabullah adalah kalam
Allah yang diturunkan kepada para Rasulullah yang didalamnya menerangkan
perintah dan larangan, janji dan ancaman. Kitab-kitab Allah yang diterangkan
adalah: Taurat yang diturunkan kepada Musa, Zabur kepada Daud, Injil kepada
Isa, dan shuhuf (lembaran-lembaran khusus) kepada Ibrahim dan Musa; serta
Al-Qur’an sebagai saksitentang kebenaran kitab-kitab yang lalu dan sekaligus
menjawab dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat para penganut agama.
Tauhid mulkiyah merupakan landasan
pembentukan tatan sosial [masyarakat]Islam. Dalam tatanan sosial Islam,
syari’at Islam tetap harus tegak walaupun tanpa negara. Meskipun disadari bahwa
negara diperlukan dalam menegakkan syari’at. Misalnya, kewajiban zakat tetap
berlaku dan harus ditunaikan oleh seorang muslim yang kaya walaupun tidak ada
“Negara Islam”dengan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut.
SPIRITUALITAS MASYARAKAT BERADAB
Mengenai
Ke- Tuhan-an Allah, kaum muslimin sepakat bahwa Allah Maha Esa, dan tidak ada
sesuatupun yang semisal dengan-Nya. Kemudian manusia wajib berakhlak sesuai
dengan akhlak Allah sebagaimana tercermin dalam sifat dan nama-namanya yang
indah.
Mengenai
sifat-sifat Allah, “Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah sejak dulu hingga sekarang berpandangan: bahwa Allah di-sifati-i dengan apa saja yang
disifatkan-Nya kepada diri-Nya sendiri, serta disifatkan oleh rasul-Nya,
sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis, sehingga tidak terjebak dengan
tajsim dan tasybih; dan pada saat yang sama dapat mensucikan Allah (tanzih) dari sifat ke-makhluk-an, tanpa menafikan sifat Allah (ta’thil). Dengan cara ini, ahl sunnah
wal jamaah berusaha menggabungkan antara penafsiran dan sikap pasrah.
Asma’ Allah yang indah sebagai bagian
dari kepercayaan tauhid merupakan landasan etis umat Islam. Umat Islam bukan
hanya perlu tahu, tetapi juga harus berhias akhlak dengan akhlak Allah sebagaimana tergambar dalam
asma’-Nya. Upaya merealisasikan asma’
al-Husna dalam kehidupan pribadi manusia ini bukanlah pekerjaan mudah,
karena akan terjadi tarik ulur antara dorong unsur malakuti dan unsur syahwat-syaithaniyah
yang menggoda. Pribadi bertauhid berusaha menjaga harmoni pada semua tatanan
kosmik: baik metakosmos, makrokosmos, ataupun mikrosmos.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya CV. Toha Putera Semarang,
1989
‘Abdul Wahhab Muhammad ibn, & Taymiyah, Ahmad bin
al-Hurani, Majmu’ah al-Tauhid, Libanon:
Dar El- Firk, tt.
Abdurrahim, Muhammad Imaduddin, Kuliah Tauhid, Bandung, Pustaka, 1990.
---------, Haqiqat
al-Tauhid alih bahasa H. Abd. Rahim Haris, Pustaka Darul Hikmah Bima, tt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar