Minggu, 03 Januari 2016

Kisah: Tuhan dan Profesor Filsafat




Kisah: Tuhan dan Profesor Filsafat


Kisah Sodrun, mahasiswa ndusun yang cerdas tapi sederhana. Simak baik-baik dan ambil makna di dalamnya.

Kali ini Sodrun sedang mengikuti sebuah mata kuliah penting: Filsafat.
Walaupun kadang dia merasa muak dengan ungkapan-ungkapan filosofis si dosen yang seorang profesor, mau-tidak mau Sodrun harus tetap ikut kuliah, otherwise dia akan dinilai E oleh si dosen. Bagi mahasiswa pragmatis macam Sodrun, filsafat malah hanya membuat hidup menjadi susah dipahami dan mbulet ngak karu-karuan.

Si dosen membuka kelas pagi itu dengan memakai bahasa Inggris yang di fasih-fasihkan: "Let me explain the problem of science has with God", kata sang professor buthak yang sisa rambutnya bisa dihitung dengan jari.  
Si professor berhenti sebentar dan celingukan ke seantero kelas seperti mencari sandal jepitnya yang hilang. 
"Kamu muslim kan?”, tanyanya pada seorang mahasiswi yang berjilbab.
“Ya, Pak”, jawab si mahasiswi gugup.
“Kalau begitu kamu percaya sama Tuhan kan?”, susul si professor. 
“Ya tentu Pak”
“Apakah Tuhan itu baik?”
“Ya pasti Tuhan itu baik” tandas si muslimah yakin.
“Dan apakah Tuhan itu mahakuasa, dan bisa melakukan apa saja?”
“Ya,… Dia mahakuasa”

Si professor tersenyum kecut dan memonyongkan bibirnya sejenak. Kemudian dia berilustrasi.
“Coba salah satu diantara kamu kemari”, panggilnya pada seorang mahasiswa di sudut. “Katakanlah ada seseorang yang sakit disini dan kamu dapat menyembuhkannya. Kamu berkuasa untuk itu. Apakah kamu mau menolongnya?” 
“Ya tentu pak, saya akan menolongnya” ujar si mahasiswa.
“Jadi kamu bisa disebut baik…!” puji si professor. 
“Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi manusia baik dengan kemampuan saya”, imbuh sang mahasiswa ngolor.
“Oh bagus,… jadi kamu mau menolong orang yang kurang beruntung jika kamu mampu kan?… Kita semua tentu mau melakukan itu jika kita mampu… Tapi anehnya Tuhan tidak…!” kata si professor setengah berteriak. 

Suasana kelas menjadi hening.

“Tuhan tidak mau menolong kan?… Banyak orang terkena kangker, asma, korengan, miskin, buta, dan mereka menyembah Tuhan tapi Tuhan tidak menghiraukan mereka. Padahal Tuhan mampu… Jadi apa baiknya Tuhan itu? Hah..? Apakah kalian bisa menjawabnya?” kali ini si professor histeris.

Kelaspun menjadi semakin senyap. Sodrun hanya garuk-garuk kepala sambil begumam

”…habis makan sesajen apa professor ini tadi malam, koq berani memaki-maki Tuhan…”.

 Setelah beberapa saat, si professor pun melanjutkan ceramahnya.

“Mari kita teruskan bung…” katanya sambil berjalan mendekati seorang mahasiswa yang lain yang aktif di masjid kampus.
“Coba jawab dengan benar kali ini… Apakah Tuhan itu baik?” katanya sambil menepuk bahu si mahasiswa.
Agak nervous si mahasiswa menjawab, “Eee… ya, Pak”.
“Apakah setan juga baik?”
“Tidak…”
“Siapa yang membuat setan?”
Si aktifis benar-benar grogi. “eh.. e.. Tuhan yang mencipta…”
“Benar, Tuhan yang menciptakan setan kan?.. berarti Tuhan juga yang membuat kejahatan setan?” Tak ada jawaban…

Si tua professor semakin bersemangat dan yakin.
Dia kembali ke mahasiswa tadi. “Katakan padaku bung, apakah ada kejahatan di dunia ini?”
"Ya tentu ada Prof…”
“Siapa yang mencipta kejahatan itu?”

Si mahasiswa diam-diam terkentut-kentut. Pening kepalanya tak bisa jawab.

“Bukankan ada juga yang namanya penyakit di dunia ini? Juga kebencian, kepalsuan, keserakahan, penindasan, korupsi, selingkuh, maling, rampok, dan seabrek kebobrokan yang lain???…” teriaknya menggema diseantero ruangan. Suasana kelas seperti anak ayam melihat serigala.

“Siapa yang menciptakan semua kesemrawutan itu?…”
“SIAPA YANG MENCIPTAKAN KEJAHATAN DAN KESENGSARAAN DI SEANTERO DUNIA INI, AYO KATAKAN!!”

Masing-masing mahasiswa hanya berani memandang sepatu bututnya sendiri-sendiri atau diam-diam membenarkan si professor tanpa bisa berkata apa-apa. Sodrun sebenarnya sudah gatal pengin ngomong, tapi takut nanti nilainya jeblok. Jadi ya terpaksa ikutan jadi silent majority. 
Si dosen menatap wajah masing-masing mahasiswanya sambil berkata,

“Tuhan yang menciptakan kejahatan dan kesengsaraan, kan?”
“Lalu Tuhan itu dagelan macam apa, jika Dia yang menciptakan semua kejahatan dan kesengsaraan sepanjang tempat dan waktu?”
“Semua kebencian, kebrutalan, kesengsaraan, penyiksaan, kematian, dan seabrek keburukan lainnya adalah diciptakan oleh Tuhan yang katanya baik, bukankah demikian?… Bukankah itu semua terjadi dimana-mana?”
“Jadi, apakah Tuhan itu baik??…. Dan mengapa kalian percaya kepada dagelan yang namanya Tuhan itu…”

Sodrun membanting pensilnya sendiri ke lantai. Kelakuannya itu menarik perhatian si professor, sehingga dia mendekati tempat duduk Sodrun. “Waduh, mmuatek aku..!” gumam Sodrun dalam hati. Kali ini dibulat-bulatkan tekadnya untuk membantah omongan sang professor apapun taruhannya. “Biarlah sekali-kali aku nggak lulus satu matakuliah, daripada ikut-ikutan gendeng macam professor ini…” pikir Sodrun agak nekad. 

“Apakah kamu percaya pada Tuhan, Drun..?”. Arah muka professor ke posisi pensil Sodrun yang jatuh.
“Ya Prof, saya percaya…” Sodrun mengambil kembali pensilnya.

Pak professor tua melanjutkan. "Iptek mengatakan bahwa kita memiliki lima indera untuk mengidentifikasi dan mengenali dunia di sekitar kita. Apakah kamu pernah melihat Tuhan?… belum kan, Drun?”
“Belum Prof, saya belum pernah lihat Tuhan…” Sodrun menjawab.
“Pernahkah kamu menyentuh Tuhan kamu, merasainya, mencium baunya atau mendengar suaranya?… Atau sekedar mengetahui kehadirannya dengan jalan lain seperti mimpi atau halusinasi, misalnya?…”
“Belum pernah, Pak…”
“Kalau belum, mengapa kau begitu naïve mempercayai adanya Tuhan?…”
“Menurut kaidah ilmiah dan akademis, Tuhan tidak ada karena dia tidak bisa dideteksi. Apa pendapatmu akan hal itu Drun?… Dimana Tuhan kamu itu sekarang?…”

Sodrun sudah tidak tahan lagi. Dia berdiri dan berjalan ke muka kelas. 

“Pak professor, apakah saya boleh bertanya sesuatu?..”
Sedikit terkejut si professor menjawab, “oh, tentu… adakah sesuatu yang kurang jelas dari kesimpulan kita tadi?..”
Sodrun memberanikan diri sekuat-kuatnya. “Begini Pak, apakah Bapak percaya adanya sesuatu yang namanya panas?”, tanya Sodrun memulai serangan balik.
“Ya, panas itu ada tentu”, jawab si professor tenang.
“Apakah ada yang namanya dingin?”
“Ada juga tentu…”
“Ah, Bapak tentu bohong, dingin itu tidak ada…”

Suasana kelas menjadi ikutan dingin mendengar kata-kata “dingin” dari Sodrun tadi. “Sodrun pasti nggak sarapan pagi sehingga kumat gendengnya” pikir kawan-kawannya. Lha wong professor koq di bohong-bohongkan…

“Kita bisa punya panas, lebih panas, super panas, puanas sekali, mega-panas, hangat, atau juga tidak ada panas, tapi kita tidak punya sesuatu yang bisa dinamai ‘dingin’… Menurut fisika kita bisa mencapai angka 458 derajat Celsius di bawah 0, tapi tidak bisa lagi turun di bawah itu”.

“Jadi, tentu tidak ada terminologi yang namanya dingin, kecuali kalau kita mampu menemukan suhu di bawah -458. Kata ‘dingin’ hanyalah terminology bahasa yang dipakai untuk menjelaskan keadaan tidak adanya panas. Kita bisa mengukur unit suhu karena panas itu energi. Sedangkan dingin bukanlah kebalikan dari panas, melainkan hanya ketiadaan panas itu sendiri sehingga dingin tidak bisa diukur…”. Sodrun tambah pede.
“Lalu, apakah ada yang namanya gelap itu Pak?” lanjut Sodrun.
“Ah, bodoh amat kau ini… Bukankan malam itu gelap? Kau tak akan melihat apa-apa jika malam hari kan?…” jawab sang professor mulai gregetan.
“Jadi Bapak mengakui adanya kegelapan?”
“Tentu…”
“Ah, mengapa Bapak mengakui adanya kegelapan, padahal kegelapan itu bukanlah sesuatu melainkan hanya keadaan akan tiadanya sesuatu yang lain. Bapak bisa punya cahaya remang-remang, blurem, cerah, kilat, ataupun terang benderang, tapi kalau tidak ada cahaya secara konstan Bapak tidak dapat melihat sesuatu... dan itu yang dinamakan gelap, kan?” ujar Sodrun dengan gaya intel jaman Orde Baru.

“Gelap hanyalah sesuatu ungkapan untuk menjelaskan keadaan, tapi bukan materi apapun karena realitanya gelap itu tidak ada wujudnya. Bisakah Bapak memberikan saya segelas benda yang namanya ‘gelap’, atau seutas, sepincuk, sesendok, selongsong ataupun pakai paramater lainnya?” cerocos Sodrun seperti orang kesurupan.

Sang dosen keki setengah mati dikerjain mahasiswa ndusun macam Sodrun ini.

“Lalu apa kesimpulan kamu itu Drun?”
“Kesimpulan saya adalah, bahwa dalil filsafat anda amat menarik tapi sebenarnya ngawur sehingga kesimpulannya nggak beres…”
“Ngawur?… jangan kurang ajar kamu!”, bentak si professor. “Boleh saya jelaskan pernyataan saya Pak?” pinta Sodrun. Dengan agak dongkol pak dosen menjawab, “silahkan… apa maksud pernyataan kamu itu?”.

“Ngawurnya adalah Bapak karena selalu memakai proposisi dualisme yang dianggap bertentangan. Seolah-olah segala sesuatu itu memiliki fenomena yang berlawanan. Sebagai contoh ada hidup kemudian ada mati, Tuhan baik dan Tuhan buruk. Bapak melihat konsep Tuhan sebagai sesuatu yang bisa diukur-ukur, diraba dan ditetapkan dalam skala tertentu. Padahal iptek saja tak bisa menjelaskan apa sesungguhnya pikiran dan nalar. Teori loncatan listrik dan magnet mungkin bisa dipakai, tapi hal itu tidak bisa sepenuhnya membuka rahasia gaib mengapa seoarang bisa berpikir secara rasional”.

“Melihat kematian sebagai kebalikan dari kehidupan adalah mengabaikan fakta bahwa kematian tidaklah ada sebagai sesuatu yang definitif-substantive. Bukankah yang dinamakan mati adalah karena tidak adanya hidup belaka. Hidup bisa dilihat dari detak jantung dan kedipan mata, tapi tolok ukur mati hanyalah ketiadaan hidup…”

“Apabila ada pencopet mengambil dompet orang lain di bis, adakah kita bisa menyebutnya immoral?”
“Ya tentu saja, kurang ajar itu si pencopet” kata si professor.
“Tapi bisakah Bapak mengukur immoralitas sang pencopet itu? Bukankah immoralitas itu hanyalah keadaan untuk menggambarkan ketidakhadiran moral pada tindakan seseorang?”
“Adakah yang namanya ketidakadilan? Tidak!, ketidakadilan hanyalah absennya keadilan. Adakah yang namanya kejahatan? Tidak!… Bukankan kejahatan hanyalah merupakan kata untuk menggambarkan absennya kebaikan?..” Kali ini Sodrun bicara bagaikan Mahesa Jenar sedang matek aji pamungkas Sasrabirawa. 

“Dingin, gelap, kematian, immoralitas, kejahatan, kebodohan, dan berjuta fenomena lainnya adalah ada, mereka eksis di dunia ini, tapi kita tidak bisa mengukurnya secara kuantitative…. Sehingga…” Sodrun berkata seolah hendak membuat kata pengunci. Seluruh kelas senyap seperti ada malaikat maut sedang lewat.

Tapi sang professor segera menyela. “Sebagai seorang ilmuwan filasafat dan realist, saya tidak mengenal konsepsi Tuhan sebagai bagian dari fenomena dunia karena Tuhan tidak observable… Lagian masak kalau ada Tuhan yang katanya maha pengasih, penyayang, penyantun koq maling, koruptor, pencopet, garong, tukang perang, dan penjahat berkeliaran di muka bumi…”

“Justru sebaliknya, professor, menurut saya, adanya para penjahat di dunia ini adalah fenomena keberadaan Tuhan yang sangat observable!” tukas Sodrun sudah mulai nggak sabaran.
“Bukankah anda percaya teori evolusi professor?” 
“Oh, ya tentu…sebagai seorang realist, saya percaya betul teori itu!”
“Apakah anda atau manusia lain melihat proses evolusi itu dengan mata kepala sendiri?”
“Tentu tidak...”
“Jadi anda percaya pada suatu hal yang anda sendiri tidak melihatnya prof?”
"Eh… eem, ya…”
“Bukankah anda bilang tidak percaya pada sesuatu yang tidak observable prof?…” Sodrun tambah ngedan.
“Tapi…”

“Kawan-kawan, apakah ada diantara anda yang pernah melihat udara, oksigen, atom, listrik, atau, maaf, otak bapak professor kita ini?…” Mata Sodrun menyapu seluruh ruangan.
“Adakah diantara anda yang pernah merasakan otak pak professor, mencium, mendengar, melihat, atau memegangnya?…”

Kelas diam membisu. Sebagian mahasiswa tertawa terpingkal-pingkal dalam hati. Sebagian lainnya melirik ke kepala botak sang professor yang hampir tidak ditumbuhi rambut barang sehelaipun.

“Kalau memang tidak ada diantara kalian yang pernah melihat, mencium, atau menyentuh otak pak professor, maka menurut logika filsafat, saya boleh mengatakan bahwa pak professor tidak punya otak!?…”

Sang professor segera meninggalkan kelas dengan lupa membawa tasnya yang sudah lusuh. Sodrun menyiapkan mental kalau-kalau nilainya kelak akan mendapatkan E.

1 komentar:

  1. Harrah's Casino & Resort - Mapyro
    Get directions, reviews and 김포 출장안마 information for Harrah's Casino 에그 벳 & Resort in Council Bluffs, IA. 777 Harrahs Blvd. Council 양주 출장마사지 Bluffs, IA 동두천 출장마사지 88829. (800) 357-9966 사천 출장안마

    BalasHapus