Kisah: Tuhan dan Profesor Filsafat
Kisah Sodrun, mahasiswa ndusun yang cerdas tapi sederhana.
Simak baik-baik dan ambil makna di dalamnya.
Kali ini Sodrun sedang mengikuti sebuah mata kuliah penting: Filsafat.
Walaupun
kadang dia merasa muak dengan ungkapan-ungkapan filosofis si dosen yang seorang
profesor, mau-tidak mau Sodrun harus tetap ikut kuliah, otherwise dia akan
dinilai E oleh si dosen. Bagi mahasiswa pragmatis macam Sodrun, filsafat malah
hanya membuat hidup menjadi susah dipahami dan mbulet ngak karu-karuan.
Si dosen membuka kelas pagi itu dengan memakai bahasa Inggris yang di
fasih-fasihkan: "Let me explain the problem of science has with God",
kata sang professor buthak yang sisa rambutnya bisa dihitung dengan jari.
Si
professor berhenti sebentar dan celingukan ke seantero kelas seperti mencari
sandal jepitnya yang hilang.
"Kamu
muslim kan?”, tanyanya pada seorang mahasiswi yang berjilbab.
“Ya,
Pak”, jawab si mahasiswi gugup.
“Kalau
begitu kamu percaya sama Tuhan kan?”, susul si professor.
“Ya
tentu Pak”
“Apakah
Tuhan itu baik?”
“Ya
pasti Tuhan itu baik” tandas si muslimah yakin.
“Dan
apakah Tuhan itu mahakuasa, dan bisa melakukan apa saja?”
“Ya,…
Dia mahakuasa”
Si professor tersenyum kecut dan memonyongkan bibirnya sejenak.
Kemudian dia berilustrasi.
“Coba
salah satu diantara kamu kemari”, panggilnya pada seorang mahasiswa di sudut.
“Katakanlah ada seseorang yang sakit disini dan kamu dapat menyembuhkannya.
Kamu berkuasa untuk itu. Apakah kamu mau menolongnya?”
“Ya
tentu pak, saya akan menolongnya” ujar si mahasiswa.
“Jadi
kamu bisa disebut baik…!” puji si professor.
“Saya
akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi manusia baik dengan kemampuan saya”,
imbuh sang mahasiswa ngolor.
“Oh
bagus,… jadi kamu mau menolong orang yang kurang beruntung jika kamu mampu
kan?… Kita semua tentu mau melakukan itu jika kita mampu… Tapi anehnya Tuhan
tidak…!” kata si professor setengah berteriak.
Suasana
kelas menjadi hening.
“Tuhan
tidak mau menolong kan?… Banyak orang terkena kangker, asma, korengan, miskin,
buta, dan mereka menyembah Tuhan tapi Tuhan tidak menghiraukan mereka. Padahal
Tuhan mampu… Jadi apa baiknya Tuhan itu? Hah..? Apakah kalian bisa
menjawabnya?” kali ini si professor histeris.
Kelaspun
menjadi semakin senyap. Sodrun hanya garuk-garuk kepala sambil begumam
”…habis
makan sesajen apa professor ini tadi malam, koq berani memaki-maki Tuhan…”.
Setelah
beberapa saat, si professor pun melanjutkan ceramahnya.
“Mari
kita teruskan bung…” katanya sambil berjalan mendekati seorang mahasiswa yang
lain yang aktif di masjid kampus.
“Coba
jawab dengan benar kali ini… Apakah Tuhan itu baik?” katanya sambil menepuk
bahu si mahasiswa.
Agak
nervous si mahasiswa menjawab, “Eee… ya, Pak”.
“Apakah
setan juga baik?”
“Tidak…”
“Siapa
yang membuat setan?”
Si
aktifis benar-benar grogi. “eh.. e.. Tuhan yang mencipta…”
“Benar,
Tuhan yang menciptakan setan kan?.. berarti Tuhan juga yang membuat kejahatan
setan?” Tak ada jawaban…
Si tua
professor semakin bersemangat dan yakin.
Dia
kembali ke mahasiswa tadi. “Katakan padaku bung, apakah ada kejahatan di dunia
ini?”
"Ya
tentu ada Prof…”
“Siapa
yang mencipta kejahatan itu?”
Si
mahasiswa diam-diam terkentut-kentut. Pening kepalanya tak bisa jawab.
“Bukankan
ada juga yang namanya penyakit di dunia ini? Juga kebencian, kepalsuan,
keserakahan, penindasan, korupsi, selingkuh, maling, rampok, dan seabrek
kebobrokan yang lain???…” teriaknya menggema diseantero ruangan. Suasana kelas
seperti anak ayam melihat serigala.
“Siapa
yang menciptakan semua kesemrawutan itu?…”
“SIAPA
YANG MENCIPTAKAN KEJAHATAN DAN KESENGSARAAN DI SEANTERO DUNIA INI, AYO
KATAKAN!!”
Masing-masing
mahasiswa hanya berani memandang sepatu bututnya sendiri-sendiri atau diam-diam
membenarkan si professor tanpa bisa berkata apa-apa. Sodrun sebenarnya sudah
gatal pengin ngomong, tapi takut nanti nilainya jeblok. Jadi ya terpaksa ikutan
jadi silent majority.
Si
dosen menatap wajah masing-masing mahasiswanya sambil berkata,
“Tuhan
yang menciptakan kejahatan dan kesengsaraan, kan?”
“Lalu
Tuhan itu dagelan macam apa, jika Dia yang menciptakan semua kejahatan dan
kesengsaraan sepanjang tempat dan waktu?”
“Semua
kebencian, kebrutalan, kesengsaraan, penyiksaan, kematian, dan seabrek
keburukan lainnya adalah diciptakan oleh Tuhan yang katanya baik, bukankah
demikian?… Bukankah itu semua terjadi dimana-mana?”
“Jadi,
apakah Tuhan itu baik??…. Dan mengapa kalian percaya kepada dagelan yang
namanya Tuhan itu…”
Sodrun
membanting pensilnya sendiri ke lantai. Kelakuannya itu menarik perhatian si
professor, sehingga dia mendekati tempat duduk Sodrun. “Waduh, mmuatek aku..!”
gumam Sodrun dalam hati. Kali ini dibulat-bulatkan tekadnya untuk membantah
omongan sang professor apapun taruhannya. “Biarlah sekali-kali aku nggak lulus
satu matakuliah, daripada ikut-ikutan gendeng macam professor ini…” pikir
Sodrun agak nekad.
“Apakah
kamu percaya pada Tuhan, Drun..?”. Arah muka professor ke posisi pensil Sodrun
yang jatuh.
“Ya
Prof, saya percaya…” Sodrun mengambil kembali pensilnya.
Pak
professor tua melanjutkan. "Iptek mengatakan bahwa kita memiliki lima
indera untuk mengidentifikasi dan mengenali dunia di sekitar kita. Apakah kamu
pernah melihat Tuhan?… belum kan, Drun?”
“Belum
Prof, saya belum pernah lihat Tuhan…” Sodrun menjawab.
“Pernahkah
kamu menyentuh Tuhan kamu, merasainya, mencium baunya atau mendengar suaranya?…
Atau sekedar mengetahui kehadirannya dengan jalan lain seperti mimpi atau
halusinasi, misalnya?…”
“Belum
pernah, Pak…”
“Kalau
belum, mengapa kau begitu naïve mempercayai adanya Tuhan?…”
“Menurut
kaidah ilmiah dan akademis, Tuhan tidak ada karena dia tidak bisa dideteksi.
Apa pendapatmu akan hal itu Drun?… Dimana Tuhan kamu itu sekarang?…”
Sodrun
sudah tidak tahan lagi. Dia berdiri dan berjalan ke muka kelas.
“Pak
professor, apakah saya boleh bertanya sesuatu?..”
Sedikit
terkejut si professor menjawab, “oh, tentu… adakah sesuatu yang kurang jelas
dari kesimpulan kita tadi?..”
Sodrun
memberanikan diri sekuat-kuatnya. “Begini Pak, apakah Bapak percaya adanya
sesuatu yang namanya panas?”, tanya Sodrun memulai serangan balik.
“Ya,
panas itu ada tentu”, jawab si professor tenang.
“Apakah
ada yang namanya dingin?”
“Ada
juga tentu…”
“Ah,
Bapak tentu bohong, dingin itu tidak ada…”
Suasana
kelas menjadi ikutan dingin mendengar kata-kata “dingin” dari Sodrun tadi.
“Sodrun pasti nggak sarapan pagi sehingga kumat gendengnya” pikir
kawan-kawannya. Lha wong professor koq di bohong-bohongkan…
“Kita
bisa punya panas, lebih panas, super panas, puanas sekali, mega-panas, hangat,
atau juga tidak ada panas, tapi kita tidak punya sesuatu yang bisa dinamai
‘dingin’… Menurut fisika kita bisa mencapai angka 458 derajat Celsius di bawah
0, tapi tidak bisa lagi turun di bawah itu”.
“Jadi,
tentu tidak ada terminologi yang namanya dingin, kecuali kalau kita mampu
menemukan suhu di bawah -458. Kata ‘dingin’ hanyalah terminology bahasa yang
dipakai untuk menjelaskan keadaan tidak adanya panas. Kita bisa mengukur unit
suhu karena panas itu energi. Sedangkan dingin bukanlah kebalikan dari panas,
melainkan hanya ketiadaan panas itu sendiri sehingga dingin tidak bisa
diukur…”. Sodrun tambah pede.
“Lalu,
apakah ada yang namanya gelap itu Pak?” lanjut Sodrun.
“Ah,
bodoh amat kau ini… Bukankan malam itu gelap? Kau tak akan melihat apa-apa jika
malam hari kan?…” jawab sang professor mulai gregetan.
“Jadi
Bapak mengakui adanya kegelapan?”
“Tentu…”
“Ah,
mengapa Bapak mengakui adanya kegelapan, padahal kegelapan itu bukanlah sesuatu
melainkan hanya keadaan akan tiadanya sesuatu yang lain. Bapak bisa punya
cahaya remang-remang, blurem, cerah, kilat, ataupun terang benderang, tapi
kalau tidak ada cahaya secara konstan Bapak tidak dapat melihat sesuatu... dan
itu yang dinamakan gelap, kan?” ujar Sodrun dengan gaya intel jaman Orde Baru.
“Gelap
hanyalah sesuatu ungkapan untuk menjelaskan keadaan, tapi bukan materi apapun
karena realitanya gelap itu tidak ada wujudnya. Bisakah Bapak memberikan saya
segelas benda yang namanya ‘gelap’, atau seutas, sepincuk, sesendok, selongsong
ataupun pakai paramater lainnya?” cerocos Sodrun seperti orang kesurupan.
Sang
dosen keki setengah mati dikerjain mahasiswa ndusun macam Sodrun ini.
“Lalu
apa kesimpulan kamu itu Drun?”
“Kesimpulan
saya adalah, bahwa dalil filsafat anda amat menarik tapi sebenarnya ngawur
sehingga kesimpulannya nggak beres…”
“Ngawur?…
jangan kurang ajar kamu!”, bentak si professor. “Boleh saya jelaskan pernyataan
saya Pak?” pinta Sodrun. Dengan agak dongkol pak dosen menjawab, “silahkan… apa
maksud pernyataan kamu itu?”.
“Ngawurnya
adalah Bapak karena selalu memakai proposisi dualisme yang dianggap bertentangan.
Seolah-olah segala sesuatu itu memiliki fenomena yang berlawanan. Sebagai
contoh ada hidup kemudian ada mati, Tuhan baik dan Tuhan buruk. Bapak melihat
konsep Tuhan sebagai sesuatu yang bisa diukur-ukur, diraba dan ditetapkan dalam
skala tertentu. Padahal iptek saja tak bisa menjelaskan apa sesungguhnya
pikiran dan nalar. Teori loncatan listrik dan magnet mungkin bisa dipakai, tapi
hal itu tidak bisa sepenuhnya membuka rahasia gaib mengapa seoarang bisa
berpikir secara rasional”.
“Melihat
kematian sebagai kebalikan dari kehidupan adalah mengabaikan fakta bahwa
kematian tidaklah ada sebagai sesuatu yang definitif-substantive. Bukankah yang
dinamakan mati adalah karena tidak adanya hidup belaka. Hidup bisa dilihat dari
detak jantung dan kedipan mata, tapi tolok ukur mati hanyalah ketiadaan hidup…”
“Apabila
ada pencopet mengambil dompet orang lain di bis, adakah kita bisa menyebutnya
immoral?”
“Ya
tentu saja, kurang ajar itu si pencopet” kata si professor.
“Tapi
bisakah Bapak mengukur immoralitas sang pencopet itu? Bukankah immoralitas itu
hanyalah keadaan untuk menggambarkan ketidakhadiran moral pada tindakan
seseorang?”
“Adakah
yang namanya ketidakadilan? Tidak!, ketidakadilan hanyalah absennya keadilan.
Adakah yang namanya kejahatan? Tidak!… Bukankan kejahatan hanyalah merupakan
kata untuk menggambarkan absennya kebaikan?..” Kali ini Sodrun bicara bagaikan
Mahesa Jenar sedang matek aji pamungkas Sasrabirawa.
“Dingin,
gelap, kematian, immoralitas, kejahatan, kebodohan, dan berjuta fenomena
lainnya adalah ada, mereka eksis di dunia ini, tapi kita tidak bisa mengukurnya
secara kuantitative…. Sehingga…” Sodrun berkata seolah hendak membuat kata
pengunci. Seluruh kelas senyap seperti ada malaikat maut sedang lewat.
Tapi
sang professor segera menyela. “Sebagai seorang ilmuwan filasafat dan realist,
saya tidak mengenal konsepsi Tuhan sebagai bagian dari fenomena dunia karena
Tuhan tidak observable… Lagian masak kalau ada Tuhan yang katanya maha
pengasih, penyayang, penyantun koq maling, koruptor, pencopet, garong, tukang
perang, dan penjahat berkeliaran di muka bumi…”
“Justru
sebaliknya, professor, menurut saya, adanya para penjahat di dunia ini adalah
fenomena keberadaan Tuhan yang sangat observable!” tukas Sodrun sudah mulai
nggak sabaran.
“Bukankah
anda percaya teori evolusi professor?”
“Oh, ya
tentu…sebagai seorang realist, saya percaya betul teori itu!”
“Apakah
anda atau manusia lain melihat proses evolusi itu dengan mata kepala sendiri?”
“Tentu
tidak...”
“Jadi
anda percaya pada suatu hal yang anda sendiri tidak melihatnya prof?”
"Eh…
eem, ya…”
“Bukankah
anda bilang tidak percaya pada sesuatu yang tidak observable prof?…” Sodrun
tambah ngedan.
“Tapi…”
“Kawan-kawan,
apakah ada diantara anda yang pernah melihat udara, oksigen, atom, listrik,
atau, maaf, otak bapak professor kita ini?…” Mata Sodrun menyapu seluruh
ruangan.
“Adakah
diantara anda yang pernah merasakan otak pak professor, mencium, mendengar,
melihat, atau memegangnya?…”
Kelas
diam membisu. Sebagian mahasiswa tertawa terpingkal-pingkal dalam hati.
Sebagian lainnya melirik ke kepala botak sang professor yang hampir tidak
ditumbuhi rambut barang sehelaipun.
“Kalau
memang tidak ada diantara kalian yang pernah melihat, mencium, atau menyentuh
otak pak professor, maka menurut logika filsafat, saya boleh mengatakan bahwa
pak professor tidak punya otak!?…”
Sang
professor segera meninggalkan kelas dengan lupa membawa tasnya yang sudah
lusuh. Sodrun menyiapkan mental kalau-kalau nilainya kelak akan mendapatkan E.
Harrah's Casino & Resort - Mapyro
BalasHapusGet directions, reviews and 김포 출장안마 information for Harrah's Casino 에그 벳 & Resort in Council Bluffs, IA. 777 Harrahs Blvd. Council 양주 출장마사지 Bluffs, IA 동두천 출장마사지 88829. (800) 357-9966 사천 출장안마